TEORI KEADILAN

Posted on



Adil” diartikan dapat diterima secara objektif.[1] Kata keadilan berasal dari kata adil. Dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut dengan “justice” kata dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau hak. Dengan demikian salah satu pengertian dari “justice” adalah hukum. Dari makna keadilan sebagai hukum, kemudian berkembang arti dari “justice” sebagai “lawfullness” yaitu keabsahan menurut hukum. Pengertian lain yang melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas adalah “fairness” yang sepadan dengan kelayakan.

Salah seorang pemikir besar Yunani Kuno yang membahas perihal keadilan adalah Aristoteles (384322 SM). Baginya, keadilan adalah salah satu aspek dari keutamaan (virtue). Jenis‐jenis keadilan menurut Aristoteles antara lain keadilan distributif (distributive justice) dan keadilan korektif (corrective justice). Keadilan distributif adalah keadilan yang ganjaran dan penghargaan yang setimpal terhadap perbuatan yang dilakukan seseorang, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang menjunjung kesamaan kedudukan antara orang yang satu dengan yang lain.[2]

Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), Pemahamannya tentang keadilan berangkat dari pandangan ilmiahnya tentang negara dan hukum. Menurut Hobbes, manusia sejak zaman purbakala seluruhnya dikuasai oleh nafsu‐nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Supaya tidak terjadi perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes) maka diciptakan suatu aturan hidup bersama yang didasarkan pada hukum‐hukum alam (leges naturals). Agar terjadi situasi keteraturan dibentuk kontrak antara individu untuk membentuk suatu hidup bersama yang teratur. Persetujuan inilah yang menjadi asal muasal negara. Apa yang dipandang adil oleh Hobbes adalah sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku adalah hukum yang dibuat oleh negara. Keadilan menurut Hobbes adalah setiap undang-undang yang dibuat sudah adil dengan sendirinya, karena apa yang didefinisikan adil sama dengan undang-undang.[3]

Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Pemuasan tersebut dimaknai pemuasan terhadap kebutuhan, tuntutan atau keinginan-keinginan manusia melalui pengendalian sosial serta jaminan terhadap kepentingan sosial, singkatnya social engineeringsemakin efektif.[4]  Pound melansir gagasan law as tools of social engineering yaitu hukum dapat dipergunakan sebagai alat dalam membentuk masyarakat. Lazimnya dalam negera berkembang adagium yang berkembang adalah las as tools of the ruler yaitu hukum adalah alat bagi para penguasa dalam melanggengkan kepentingannya.

Hans Kelsen berpendapat bahwa esensi keadilan adalah sebuah kualitas yang mungkin, tetapi bukan harus dari sebuah tatanan sosial yang menuntun terciptanya hubungan timbal balik diantara sesama manusia. Baru setelah itu ia merupakan sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil bilamana perilakunya seusai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya memang adil. Maksud tatanan sosial yang adil adalah bahwa peraturan itu menuntun perilaku manusia dalam menciptakan kondisi yang memuaskan bagi semua manusia dengan kata lain bahwa supaya semua orang bisa merasa bahagia dalam peraturan tersebut.[5]

Esensi keadilan menurut Hans Kelsen adalah sesuai dengan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, tidak hanya norma hukum, tetapi juga norma yang lainnya, seperti norma agama, kesusilaan dan lainnya. Tujuan dari norma yang dibuat tersebut adalah mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan dalam konsep ini, bukan hanya kebahagiaan individual, tetapi kebahagiaan bagi semua manusia atau orang.

Jhon Stuart Mill menyajikan tentang teori keadilan. Ia mengemukakan bahwa tidak ada teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan kemanfaatan. Keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-aturan yang melindungi klaim-klaim yang dianggap esensial bagi kesejahteraan masyarakat, klaim-klaim untuk memegang janji diperlakukan dengan setara.[6] Pandangan Jhon Stuart Mill ini dipengaruhi oleh pandangan utilitarianisme yang dikemukakan Jeremy Bentham.

Teori Keadilan John Rawls

Sejak publikasi buku John Rawls, A Theory of Justice pada tahun 1971, gagasan mengenai keadilan telah menjadi tema penting dalam debat filsafat politik kontemporer. Buku itu merupakan perluasan dari artikel Justice as Fairness yang ditulis sebelumnya oleh Rawls pada 1957. Dalam buku tersebut Rawls menyebut teori keadilan yang disusunnya sebagai “justice as fairness” (“keadilan sebagai kewajaran”). Menurut Jhon Rawls, keadilan merupakan keutamaan tertinggi dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, betapapun efesien dan rapinya, harus direformasi dan dihapus jika tidak adil.[7]

Rawls sendiri mengkritik teori keadilan dalam liberalisme dan sosialisme sebagai teori yang belum memadai karena 2 (dua) hal. Pertama, liberalisme memberikan penekanan terhadap kebebasan-kebebasan dasar justru menciptakan ketimpangan diantara orang-orang yang memiliki kemampuan lebih baik dan orang-orang yang kurang beruntung. Kedua, sosialisme memberikan penekanan pada persamaan, justru mengabaikan kebebasan-kebebasan dasar. Menurut Rawsl, kedua teori keadilan tersebut sama-sama bersifat ideologis, dalam pengertian bahwa terdapat kepentingan tersembunyi di balik jargon-jargon kebebasan dan persamaan. Itulah sebabnya Rawls, menyusun teori keadilan yang bersifat abstraktif.[8]

Rawls juga mengkritik keadilan dalam paradigma utilitarianisme. Utilitarianisme dianggap gagal merumuskan keadilan karena telah menjustifikasi pengorbanan individu untuk kepentingan masyarakat.[9] Salah satu gagasan yang memantik pentingnya rumusan teori keadilan adalah dominasi pendekatan utilitarian dalam filsafat politik yang diinspirasi oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Rawls merangkum pandangan mereka dengan mengatakan bahwa sebuah tata kelola masyarakat dapat dikatakan baik ketika bisa meraih manfaat paling besar untuk jumlah individu paling banyak Jika kebaikan dan kebenaran tindakan diukur dalam kerangka utilitarian, maka hak dan kebebasan individu yang berjumlah kecil bisa terancam. Atas nama kepentingan yang lebih besar, para pemangku kebijakan bisa mengorbankan hak dan kebebasan sebagian kecil kelompok dalam masyarakat. Karenanya, Rawls sebagaimana juga etika kewajiban Kant, menolak tindakan yang dapat mengorbankan hak dan kebebasan individu atau kelompok yang lebih kecil, meski tindakan tersebut memiliki manfaat besar untuk kebanyakan orang.[10]

Teori keadilan Rawls menampilkan unsur-unsur pokok keadilan. Pertama, prinsip pokok keadilan sosial adalah equality atau kesamaan. Kedua, kesamaan dalam distribusi. Ketiga, tercapainya nikmat-nikmat primer (primary goods).Keempat, ketidaksamaan dalam ditoleransi sejauh menguntungkan semua pihak. Dalam konsepsi umum ini, tampak bahwa teori keadilan Rawls mencakup dua sisi dari masalah keadilan, yaitu kesamaan (equality) dan ketidaksamaan (inequality). Disatu sisi, keadilan adalah penerapan prinsip kesamaan dalam masalah distribusi primary goods, disisi yang lain ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh hal ini menguntungkan semua, termasuk golongan yang tertinggal.[11]

Terkait prinsip kesamaan (equality) dan ketidaksamaan (inequality) ini, Rawls membuat rumusan yang lebih terperinci untuk menjabarkan teori keadilannya melalui apa yang dia sebut dengan konsepsi keadilan khusus. Rawls menjelaskan bahwa semua nikmat-nikmat primer (primery goods) masuk ke dalam cakupan 2 (dua) prinsip pokok, serta menempatkan prinsip pertama dalam urutan prioritas. Prinsip Pertama, masalah terkait kesamaan kemerdekaan dasar warga (equal basic liberty), yakni kemerdekaan politik, kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Prinsip Kedua, masalah yang terkait dengan ketimpangan ekonomi dan kesempaan sosial, yaitu menegaskan bahwa pembagian kesejahteraan dan pendapatan tidak harus sama, namun haruslah menguntungkan semua, sedangkan posisi kekuasaan dan jabatan-jabatan yang menentukan haruslah terbuka untuk semua. 

Rawls berpandangan bahwa meskipun prinsip utama itu sama penting, tapi ada yang paling utama dari yang sama-sama utama itu. Rumusan ini membedakan posisi ‘hak-hak dan kemerdekaan fundamental’ dari ‘keuntungan-keuntungan ekonomi dan sosial’. Meski keadilan sosial harus didasarkan pada prinsip kesamaan-kesamaan kemerdekaan, kesamaan distribusi, kesamaan kesempatan-tapi kesamaan kemerdekaan (equal liberty) diprioritaskan atas, atau mendahului, prinsip kesamaan yang lain (equal opportunity dan equal distribution). Sementara itu, prinsip kedua (ketimpangan atau ketidaksamaan distribusi dan kesempatan ekonomi dan sosial) oleh Rawls dipecahkankaln lagi ke dalam dua bagian, juga dengan urutan prioritas leksikal, yaitu masalah ketidaksamaan distributif dan kesamaan kesempatan yang fair bagi posisi dan jabatan publik yang harus terbuka bagi semua. Khusus terkait dengan masalah kesamaan kesempatan ini, Rawls menyebutnya dengan istilah prinsip perbedaan (the difference principle). Melalui prinsip-prinsip keadilan tersebut, Rawls mengklaim konsepsi keadilannya tidak saja rasional, tapi juga memberikan argumen paling meyakinkan bagi kemerdekaan.[12]

Lebih lanjut Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yakni: Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupunt tidak beruntung. 

Dengan demikian prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Hal ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal yakni Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri. 

[1] Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). hlm. 6-7

[2] Theo Huijebers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogjakarta: Yayasan Kanisius, 1982), hlm. 29

[3] Al. Andang Binawan & Tanius Sebastian, Menimbang Keadilan Ekososial, (Jakarta: Epistema Insitute, 2010), hlm. 15

[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 174

[5] Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm 2

[6] Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 23.

[7] John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge, Massachusetts, London, England: The Belnap Press of Harvard University Press, 1971), hlm. 3

[8] Alfensius Alwino, Diskursus Mengenai Keadilan Sosial, (Jurnal Melintas, 2016), hlm. 310 – 311.

[9] Jhon Rawls, Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993), hlm. Xxi.

[10] John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge, Massachusetts, London, England: The Belnap Press of Harvard University Press, 1971), hlm. 20

[11] Mohammad Takdir, Transformasi Kesetaraan Buruh: Studi Kritis Teori Keadilan John Rawls, (Yogjakarta: Jurnal Sosiologi, UIN Kalijaga, 2018), hlm. 342

[12] Jhon Rawls, Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993), hlm. 298

Leave a comment